
Jakarta (ANTARA) - Anggota komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo mendesak Kejaksaan Agung segera memproses kasus dugaan korupsi Depot Pertamina Balaraja yang diduga melibatkan pengusaha nasional Sandiaga Uno. "Kasus ini benar, ada indikasi korupsi. Karena, pertama menyangkut sertifikat tanah yang dipalsukan. Celakanya, sertifikat bodong itu kemudian menjadi dasar Pertamina membayar ke PT Pandanwangi Sekartaji (PWS), padahal bagaimanapun juga uang Pertamina adalah uang negara," kata anggota komisi III DPR Bambang Soesatyo di Jakarta, Senin.
Karena itu tambah inisiator Pansus Century ini, Komisi III akan meminta Kejakgung dalam hal ini Jampidsus untuk segera menindaklanjuti kasus ini. Bambang mengatakan, pihaknya telah mendapat masukkan bahwa kasus ini telah dilimpahkan dari proses penyelidikan di Jamintel menjadi penyidikan di Jampidsus.
Menurut Bambang, demi tegaknya pemberantasan korupsi, Komisi III akan menggunakan fungsi pengawasan kepada Kejakgung untuk melaksanakan proses hukum kepada semua pihak yang terlibat tanpa pandang bulu.
Sebelumnya, Kejaksaan sudah memeriksa sejumlah saksi dalam perkara ini, termasuk mantan Direktur Utama Pertamina, Ari Soemarno.
Kasus proyek Depot BBM Pertamina di Balaraja menjadi perhatian karena melibatkan dua pengusaha besar: Sandiaga Uno dan Edward Soeryadjaya.
Perkara ini awalnya terjadi pada 1996. Waktu itu, Pertamina berniat membangun Depot BBM di Balaraja, Tangerang. Dalam proyek itu, Pertamina menggandeng PT Pandanwangi Sekartaji (PWS) sebagai mitra pelaksana. Namun, krisis terjadi pada 1998, proyek tersebut batal terlaksana. Padahal, PWS sudah membeli tanah 20 hektare untuk proyek tersebut. Untuk pengadaan tanah itu, PWS meminjam kepada perusahaan Singapura, Van Der Horst Ltd (VDHL), dan karena itu menjaminkan Sertifikat HGB No 031 atas tanah proyek tadi.
Ternyata, VDHL juga bangkrut karena terkena krisis keuangan, kemudian VDHL dilelang. Pengusaha Edward Soeryadjaya memenangi lelang tersebut. Itu sebabnya, sertifikat HGB nomor 031 ada pada Edward.
PWS sendiri sementara sudah berganti pemilik. Sejak 2006, PWS dibeli Sandiaga Uno melalui PT VDH Teguh Sakti, dari pemilik lamanya, Johnnie Hermanto dan Tri Harwanto, senilai US$ 1,5 juta. Tapi, Sandiaga baru membayar US$ 650 ribu.
Sandiaga juga sempat menjadi Direktur Utama PWS. Ketika proyek Depot tadi dinyatakan gagal dilaksanakan, PWS meminta ganti rugi kepada Pertamina. Bahkan PWS berhasil menyita aset gedung kantor Pertamina di Jalan Kramat Raya dan rekening operasional BUMN migas itu di Bank Mandiri dan anehnya lagi Pertamina tidak melakukan perlawanan.
Pertamina kemudian mau membayar ganti rugi US$ 12,8 juta kepada PWS, dengan syarat a.l. PWS harus melepaskan sita jaminan dan menyerahkan sertifikat tanah proyek tadi.
Pada 10 Maret 2009, Pertamina lalu membayar separuh nilai ganti rugi, sebesar US$ 6,4 juta kepada PWS. Sita jaminan atas asset-asset Pertamina pun diangkat.
Di sisi lain, beberapa bulan kemudian, setelah ditagih berkali-kali, barulah Sandiaga membayar kepada pemiik lama PWS (Johnnie Hermanto dan Tri Harwanto). Itu pun baru US$ 650 ribu dan lewat cicilan walaupun Sandiaga telah menggunakan PWS untuk memperoleh pembayaran dari Pertamina sebanyak US$6,4 juta itu tadi.
Sewaktu PWS hendak mencairkan ganti rugi tahap kedua, barulah ketahuan bahwa PWS tidak memiliki sertifikat asli atas tanah proyek itu. Yang ada pada PWS adalah sertifikat HGB nomor 032, bukan HGB nomor 031. Ternyata, PWS menyatakan, sertifikat 031 hilang.
Edward Soeryadjaya, yang memegang sertifikat HGB 031, mengajukan protes kepada Pertamina yang kemudian menunda pembayaran ganti rugi tahap kedua itu.
Sertifikat baru
Menurut koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB), Adhie Massardi tindak korupsi dalam kasus ini diawali dari penerbitan sertifikat HGB nomor 032.
Menurut Adhie yang juga mantan Jubir Presiden Gus Dur, di masa Gus Dur, Jaksa Agung Marzuki Darusman sudah meyatakan proyek ini tidak mengandung unsur korupsi.
Waktu itu, tambahnya kejaksaan melakukan audit atas proyek ini. Tapi, dalam audit itu, Sertifikat nomor 031 yang dijadikan dasarnya. Adhie mengatakan, penerbitan sertifikat nomor 032 itu yang menjadi awal masalah.
"Penerbitan sertifikat 032, ketika sertifikat asli nomor 031 tidak hilang, menunjukkan modus membobol uang negara yang ada di Pertamina," katanya.
Direktur Sengketa Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tangerang, Victor Simanjuntak, menjelaskan, secara prosedural, penerbitan sebuah serfikat pengganti adalah lazim. Namun, tambah Victor penerbitan sertifikat HGB 032 untuk proyek Pertamina di Balaraja bisa bermasalah ketika sertifikat 031 ternyata tidak hilang.
Menurut Victor, memang banyak yang mengaku-ngaku pemilik tanah yang sertifikatnya hilang demi mendapatkan sertifikat pengganti. Padahal, sertifikat asli dipegang pihak lain.
"Seringkali itu terjadi. Biasa, pekerjaan mafia tanah," ujarnya.
Dalam kasus ini, Victor menegaskan, sertifikat pengganti itu seharusnya diberi nomor yang sama dengan sertifikat aslinya.
"Tidak bisa seperti ini, diterbitkan sertifikat HGB nomor 032 untuk mengganti sertifikat HGB nomor 031. Seharusnya, nomor sertifikat pengganti tetap 031 juga," katanya.
Apalagi, dalam kasus ini, surat ukur dan nomor ukur tanahnya juga diganti walaupun obyek tanahnya sama.
"Aneh, ini seperti ingin menghilangkan riwayat tanah itu," tambahnya lagi.
Urusan keaslian sertifikat itu pun masuk ke pengadilan. Edward Soeryadjaya menggugat BPN Tangerang atas terbitnya sertifikat 032. Di tengah perjalanan, muncul gugatan intervensi kepada Edward dari PT Jakarta Depot Satelit (JDS) calon kontraktor proyek gagal itu. Di PTUN Bandung, Edward dimenangkan. Sertifikat HGB nomor 031 dinyatakan sah dan berharga. Sertifikat 032 dinyatakan cacat hukum..
Pihak JDS mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi TUN Jakarta. Putusannya, Edward dinyatakan tidak memiliki kedudukan (legal standing) untuk berperkara terkait sertfikat tanah ini. Edward pun mengajukan kasasi, tapi ditolak. Dengan begitu, Pengadilan Tinggi TUN dan Mahkamah Agung (MA) menyatakan Edward tidak punya kedudukan (legal standing) untuk menggugat.
Soal pokok perkara, yaitu kesahihan sertifikat HGB nomor 031 seperti dinyatakan pengadilan TUN di Bandung -- tidak diuji oleh PT TUN atau MA Selain itu, JDS juga menggugat Edward ke PN Jakarta Pusat.
Ternyata, PN Jakarta Pusat memutuskan keberadaan sertifikat no. 031 sebagai jaminan atas adanya hutang piutang adalah sah. Salah satu yang menjadi pertimbangan majelis hakim, sertifikat tanah sebagai jaminan adalah dimungkinkan. Gugatan JDS ditolak seluruhnya. Selain urusan sertifikat pengganti yang diragukan itu, Adhie juga menilai, unsur korupsi bisa terlihat dari nilai ganti rugi yang diberikan Pertamina ke PWS.
"Itu terlalu besar," katanya. Sebab, tambahnya hanya tanah 20 hektare itulah yang dijadikan dasar ganti rugi. Nilainya paling Rp 30 Milyar. PWS tidak sempat melakukan kerja yang lain dalam proyek Depot itu, selain membeli tanah tadi.
"Masak Pertamina memberi ganti sampai Rp 120 Milyar ?. Apalagi, harga PWS sebagai sebuah perusahaan juga cuma Rp 15 Milyar. Ini pasti ada kerjasama dengan penguasa Pertamina," katanya.
Sementara kuasa hukum Edward Soeryadjaya, Avianto menduga ada bau korupsi dalam pembayaran ganti rugi dari Pertamina ke PWS. Menurutnya langkah Pertamina membayar ke PWS dalam dua termin patut dipertanyakan. Bagaimana bisa.
"Pertamina membayar US$ 6,4 juta untuk setiap termin, dengan kompensasi yang kualitasnya jomplang. Apakah kertas-kertas dokumen yang menjadi kompensasi pembayaran tahap pertama itu sebanding dengan tanah dan sertifikat yang jadi kompensasi pembayaran tahap kedua," tegasnya.
Selengkapnya...